Loading...
Loading...
Orang muda Korea Selatan dalam foto ini tengah menjalankan 'terapi kematian' di mana mereka akan 'merasakan kematian' dengan tidur dalam keranda dan memakai baju orang mati. Hal itu dipercaya mampu menghilangkan stres dan menjernihkan jiwa yang keruh.
Meskipun Korea Selatan tergolong negara madu, namun nyatanya Korea Selatan adalah salah satu negara yang paling tidak bahagia di dunia. Berdasarkan laporan 'World Happiness Report' yang diterbitkan oleh PBB, Korea Selatan menempati tangga ke-56, lebih rendah dari Malaysia yang berada di tangga ke-42. Malaysia menempati tempat tertinggi di Asia setelah Singapura (26), Thailand (32) dan Taiwan (33).
Jangan meremehkan tentang 'happiness'. Dulu warga Amerika Serikat mengangkat senjata menentang Inggris pun karena ingin mempertahankan hak 'persuit of happiness'.
Salah satu tanda orang tak 'happy' adalah hilang minat untuk hidup. Tingkat bunuh diri di Korea Selatan dan Jepang adalah yang tertinggi di kalangan negara maju.
Di Korea Selatan, 30 dari 100 ribu orang bunuh diri setiap tahun. Sedangkan di Jepang, 19 dari 100 ribu orang bunuh diri setiap tahunnya.
Mungkin budaya Asia Timur yang terlalu menitikberatkan pada harga diri dan pandangan masyarakat menjadi puncak utama masalah bunuh diri yang serius. Namun pada 1995, hanya 10 dari 100 ribu orang saja yang bunuh diri di Korea Selatan. Tentu ada faktor lain yang membawa kepada peningkatan masalah tersebut.
Tak dipungkiri, ekonomi memengaruhi kebahagiaan. Ekonomi yang membuat kebahagiaan bukan kekayaan mutlak tetapi kekayaan yang dibagi dan didistribusikan dengan saksama dikalangan rakyat.
3 negara yang paling bahagia dalam laporan tersebut (Norway, Denmark, dan Iceland) adalah negara Scandinavia/Nordic yang mengamalkan ekonomi 'Nordic model' yang menekanpan kabajikan. Rakyat menikmati pendidikan dan berbagai fasilitas gratis dengan syarat rakyat bersedia membayar cukai yang tinggi.
Jika rakyat bebas dari kerisauan tentang kebutuhan dasar, mereka hanya perlu memikirkan soal perkembangin potensi diri atau 'self-fulfilment' yang membawa pada kepuasan hidup. Dan, itulah puncak dari kebahagiaan mereka.
Namun tidak di Korea Selatan. Rakyat Korea Selatan yang kelihatannya hidup mewah sebenarnya hanyalah hamba dunia korporat. Ekonomi Korea Selatan dikuasai sepenuhnya oleh keluarga-keluarga kapitalis besar yang dikenali sebagai 'Chaebo'.
5 Chaebol terbesar (Samsung, LG, Hyundai, SK, dan Lotte) saja telah mengawal hampir 60% GDP negara. Pada 2007, 30 Chaebol terbesar memiliki 843 perusahaan, dengan begitu sumber dapat digunakan secara lebih efisien dan mencapai 'economy of scale'. Namun harga mengejar kemajuan dalam masa singkat adalah menggadaikan kebahagiaan rakyat Korea Selatan pada kepentingan Chaebol.
Usai krisis 1997/1998, Chaebol menjadi semakin berkuasa, sehingga dapat memengaruhi proses politik. Bahkan sampai ada yang menyebut Korea Selatan sebagai 'Republic of Samsung'. Di Malaysia, jika tak dapat kerja, bisa berniaga. Tapi di Korea Selatan, hampir semua benda dimonopoli Chaebol. Chaebol ada di mana-mana dan jangan harap ingin bersaing dengan mereka.
Pilihannya hanya belajar sungguh-sungguh agar bisa masuk universitas ternama di Korea Selatan, seperti SKY - Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Jika gagal masuk universitas tersebut, maka akan membawa kegagalan dalam hidup karena harapan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan Chaebol menjadi tipis. Tidak ada langi (SKY). Orang banyak yang akhirnya memilih bunuh diri karenanya.
Pekerja muda Korea Selatan perlu bekerja melebihi batas jam kerja, tetapi dibayar dengan upah yang rendah. Mereka tidak mampu memiliki rumah dan hidup dalam kemiskinan.
Mereka tidak punya daya tawar karena persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangat sengit. Tak puas dengan pekerjaan dengan gaji sedikit? Silakan keluar karena masih banyak yang mau bekerja.
Pada akhirnya, tekanan hidup yang tinggi membawa rakyat pada 2 masalah sosial yang serius, yakni kecanduan minuman beralkohol dan perilaku antisosial.
Kekecewaan dan kemarahan terhadap keadaan sosial-ekonomi menyebabkan anak muda di Korea Selatan menciptakan istilah 'Hell Joseon' atau 'Hell Korea'. Mereka melihat Korea Selatan sebagai sebuah neraka yang menyiksa. Semakin tinggi tahap pembangunan, semakin kurang kebahagiaan, dan itulah paradoks modern di Korea Selatan dan Jepang.
Sumber: Ohmymedia
Meskipun Korea Selatan tergolong negara madu, namun nyatanya Korea Selatan adalah salah satu negara yang paling tidak bahagia di dunia. Berdasarkan laporan 'World Happiness Report' yang diterbitkan oleh PBB, Korea Selatan menempati tangga ke-56, lebih rendah dari Malaysia yang berada di tangga ke-42. Malaysia menempati tempat tertinggi di Asia setelah Singapura (26), Thailand (32) dan Taiwan (33).
Terapi kematian di Korea Selatan |
Jangan meremehkan tentang 'happiness'. Dulu warga Amerika Serikat mengangkat senjata menentang Inggris pun karena ingin mempertahankan hak 'persuit of happiness'.
Salah satu tanda orang tak 'happy' adalah hilang minat untuk hidup. Tingkat bunuh diri di Korea Selatan dan Jepang adalah yang tertinggi di kalangan negara maju.
Di Korea Selatan, 30 dari 100 ribu orang bunuh diri setiap tahun. Sedangkan di Jepang, 19 dari 100 ribu orang bunuh diri setiap tahunnya.
Mungkin budaya Asia Timur yang terlalu menitikberatkan pada harga diri dan pandangan masyarakat menjadi puncak utama masalah bunuh diri yang serius. Namun pada 1995, hanya 10 dari 100 ribu orang saja yang bunuh diri di Korea Selatan. Tentu ada faktor lain yang membawa kepada peningkatan masalah tersebut.
Tak dipungkiri, ekonomi memengaruhi kebahagiaan. Ekonomi yang membuat kebahagiaan bukan kekayaan mutlak tetapi kekayaan yang dibagi dan didistribusikan dengan saksama dikalangan rakyat.
3 negara yang paling bahagia dalam laporan tersebut (Norway, Denmark, dan Iceland) adalah negara Scandinavia/Nordic yang mengamalkan ekonomi 'Nordic model' yang menekanpan kabajikan. Rakyat menikmati pendidikan dan berbagai fasilitas gratis dengan syarat rakyat bersedia membayar cukai yang tinggi.
Jika rakyat bebas dari kerisauan tentang kebutuhan dasar, mereka hanya perlu memikirkan soal perkembangin potensi diri atau 'self-fulfilment' yang membawa pada kepuasan hidup. Dan, itulah puncak dari kebahagiaan mereka.
Namun tidak di Korea Selatan. Rakyat Korea Selatan yang kelihatannya hidup mewah sebenarnya hanyalah hamba dunia korporat. Ekonomi Korea Selatan dikuasai sepenuhnya oleh keluarga-keluarga kapitalis besar yang dikenali sebagai 'Chaebo'.
5 Chaebol terbesar (Samsung, LG, Hyundai, SK, dan Lotte) saja telah mengawal hampir 60% GDP negara. Pada 2007, 30 Chaebol terbesar memiliki 843 perusahaan, dengan begitu sumber dapat digunakan secara lebih efisien dan mencapai 'economy of scale'. Namun harga mengejar kemajuan dalam masa singkat adalah menggadaikan kebahagiaan rakyat Korea Selatan pada kepentingan Chaebol.
Usai krisis 1997/1998, Chaebol menjadi semakin berkuasa, sehingga dapat memengaruhi proses politik. Bahkan sampai ada yang menyebut Korea Selatan sebagai 'Republic of Samsung'. Di Malaysia, jika tak dapat kerja, bisa berniaga. Tapi di Korea Selatan, hampir semua benda dimonopoli Chaebol. Chaebol ada di mana-mana dan jangan harap ingin bersaing dengan mereka.
Pilihannya hanya belajar sungguh-sungguh agar bisa masuk universitas ternama di Korea Selatan, seperti SKY - Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University. Jika gagal masuk universitas tersebut, maka akan membawa kegagalan dalam hidup karena harapan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan Chaebol menjadi tipis. Tidak ada langi (SKY). Orang banyak yang akhirnya memilih bunuh diri karenanya.
Korea University |
Pekerja muda Korea Selatan perlu bekerja melebihi batas jam kerja, tetapi dibayar dengan upah yang rendah. Mereka tidak mampu memiliki rumah dan hidup dalam kemiskinan.
Pekerja di Korea Selatan |
Mereka tidak punya daya tawar karena persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangat sengit. Tak puas dengan pekerjaan dengan gaji sedikit? Silakan keluar karena masih banyak yang mau bekerja.
Pada akhirnya, tekanan hidup yang tinggi membawa rakyat pada 2 masalah sosial yang serius, yakni kecanduan minuman beralkohol dan perilaku antisosial.
Warga Korea Selatan |
Kekecewaan dan kemarahan terhadap keadaan sosial-ekonomi menyebabkan anak muda di Korea Selatan menciptakan istilah 'Hell Joseon' atau 'Hell Korea'. Mereka melihat Korea Selatan sebagai sebuah neraka yang menyiksa. Semakin tinggi tahap pembangunan, semakin kurang kebahagiaan, dan itulah paradoks modern di Korea Selatan dan Jepang.
Sumber: Ohmymedia
0 Response to "Tak Disangka, Korea Selatan Adalah Negara yang Paling Tidak Gembira di Dunia, Ini Penyebabnya"
Post a Comment